Tuesday 30 October 2012

Sejarah HW

Hizbul Wathan (HW) adalah gerakan kepanduan yang berasaskan Islam. HW didirikan untuk menyiapkan dan membina anak, remaja, dan pemuda yang memiliki aqidah, mental dan fisik, berilmu dan berteknologi serta berakhlak karimah dengan tujuan terwujudnya pribadi muslim yang sebenar-benarnya dan siap menjadi kader persyarikatan, umat, dan bangsa.
Sifat HW adalah sistem pendidikan untuk anak, remaja, dan pemuda di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Bersifat nasional, artinya ruang lingkup usaha HW meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Repulik Indonesia. Bersifat terbuka, artinya keanggotaan HW terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat, tanpa membedakan gender, usia, profesi, atau latar belakang pendidikan. Penggolongan keanggotaan HW menurut usia hanyalah untuk membedakan status sebagai peserta didik atau anggota dewasa(pembina). Bersifat sukarela, artinya dasar seseorang menjadi anggota HW adalah suka dan rela, tanpa paksaan atau tekanan orang lain. Tidak berorientasi pada partai politik, artinya secara organisatoris HW tidak berafiliasi kepada salah satu partai politik dan HW tidak melakukan aktivitas politik praktis. Induk organisasi HW hanyalah Persyarikatan Muhammadiyah.
Ciri khas HW adalah Prinsip Dasar Kepanduan dan Metode Kepanduan, yang harus diterapkan dalam setiap kegiatan. Pelaksanaannya disesuaikan kepentingan, kebutuhan, situasi, kondisi masyarakat, serta kepentingan Persyarikatan Muhammadiyah.
Prinsip Dasar Kepanduan adalah pengamalan akidah Islamiyah; pembentukan dan pembinaan akhlak mulia menurut ajaran Islam; pengamalan kode kehormatan pandu.
Metode Kepanduan yang digunakan adalah pemberdayaan anak didik lewat sistem beregu; kegiatan dilakukan di alam terbuka; pendidikan dengan metode yang menarik, menyenangkan, dan menantang; penggunaan sistem kenaikan tingkat dan tanda kecakapan; sistem satuan dan kegiatan terpisah antara pandu putera dan pandu puteri.
Kode kehormatan merupakan janji, semangat, dan akhlak Pandu HW baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
Kode kehormatan Pandu HW terdiri dari: Janji Pandu HW, diucapkan secara sukarela oleh calon anggota ketika dilantik menjadi anggota dan merupakan komitmen awal untuk melibatkan diri dalam menetapi dan menepati janji tersebut.
Pengucapan janji selalu diawali dengan basmalah disambung dua kalimat syahadat berikut artinya.
Undang-undang Pandu HW, merupakan ketentuan moral untuk dijadikan kebiasaan diri dalam bersikap dan berperilaku sebagai warga masyarakat yang berakhlak mulia. Kode Kehormatan Pandu HW diucapkan saat pelantikan anggota, pelatihan, dan kegiatan lain yang diatur dalam Buku Peraturan Dasar.
Kode Kehormatan bagi Pandu Athfal Janji Athfal: Mengingat harga perkataan saya, maka saya berjanji dengan sungguh-sungguh: Satu, setia mengerjakan kewajiban saya terhadap Allah. Dua, selalu menurut Undang-undang Athfal dan setiap hari berbuat kebajikan.
Undang-Undang Athfal: Satu, Athfal itu selalu setia dan berbakti pada ayah dan bunda. Dua, Athfal itu selalu berani dan teguh hati.
Kode Kehormatan bagi Pandu Pengenal, Pandu Penghela, dan Penuntun Janji Pandu HW: Mengingat harga perkataan saya, maka saya berjanji dengan sungguh-sungguh: Satu, setia mengerjakan kewajiban saya terhadap Allah, Undang-Undang, dan Tanah Air. Dua, menolong siapa saja semampu saya. Tiga, setia menepati Undang-undang Pandu HW.
Undang-undang Pandu HW: Satu, Hizbul Wathan selamanya dapat dipercaya. Dua, Hizbul Wathan setia dan teguh hati. Tiga, Hizbul Wathan siap menolong dan wajib berjasa. Empat, Hizbul Wathan cinta perdamaian persaudaraan. Lima, Hizbul Wathan sopan santun dan perwira. Enam, Hizbul Wathan menyayangi semua makhluk. Tujuh, Hizbul Wathan siap melaksanakan perintah dengan ikhlas. Delapan, Hizbul Wathan sabar dan bermuka manis. Sembilan, Hizbul Wathan hemat dan cermat. Sepuluh, Hizbul Wathan suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Pada suatu hari K.H. Ahmad Dahlan memanggil beberapa guru Muhammadiyah, saat itu bertepatan dengan hari ahad siang. Pertemuan itu bukan untuk mengedakan rapat yang membincangkan suatu masalah, melainkan suatu pertemuan biasa yang mana K.H Ahmad Dahlan ingin menanyakan suatu peristiwa yang ia temukan saat pergi ke solo. Bahwasanya Kiai melihat anak-anak berbaris dimuka alun-alun, sedangkan setengahnya sedang asik bermain hanya saja semua anak tersebut memakai satu seragam yang sama. Lalu salah satu guru yakni mantri guru Somodirjo menjawab bahwasanya itu adalah anak-anak Padvinder Mangkunegaran (sebuah pandu dimasa itu) yang bernama Javaansche Padvinderi Organisatie. Sejak saat itu (tahun 1336 H/1918 M) Muhammadiyah membuat kegiatan kepanduan bagi anak-anak sekitar kauman yang waktu itu dipelopori oleh bapak Somodirjo dan Syarbini yang mantan militer dimasanya.
Pertama kali kepanduan tersebut diberi nama “Padvinder Muhammadiyah” lalu baru pada tanggal 20 jumadil awal 1338 H bertepatan dengan tanggal 30 januari 1920 nama HW (Hizbul Wathan) mulai dikenal mayarakat, yang mempunyai arti “Golongan yang Cinta Tanah Air”.
Seiring dengan gejolak politik di negri ini pada tahun 1961 dibentuklah sebuah gerakan kepanduan bagi pemuda yang diberi nama Pramuka sejak saat itu semua kepanduan yang ada di negeri ini dileburkan menjadi satu (Pramuka), lalu pada tanggal 10 Sya’ban 1420 H/18 november 1999 M. Pimpinan Pusat Muhammadiyah kembali membangkitkan Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (HW), yang dipertegas dengan keluarnya surat keputusan pada tanggal 1 Dzulhijjah 1423 H/2 februari 2003.

Forever Young ..

Sahabat yang baik,  Berikut kami sajikan kembali rangkuman Mario Teguh Golden Ways, bertepatan dengan Sumpah Pemuda, topik MTGW kali ini adalah Forever Young bisa menjadi muda selamanya, menjadi muda seperti tenaga orang tua tetapi dengan semangat anak muda, untuk bisa lebih menghebatkan banyak hal…
Forever Young ..
Muda selamanya..
kita mungkin hidup di badan yang lebih tua tetapi “still young”
banyak orang yang hidup di badan yang muda yang jiwanya sudah tua..
kita akan memelihara, mengawetkan, keindahan dari jiwa muda kita ..
supaya tetap muda menjadi jiwa muda yang sukses,
walaupun di dalam tubuh yang menua,
karna jiwa itu sesungguhnya tidak akan pernah mati.
Jiwa itu yang akan melanjutkan keindahan kehidupan kita diakherat, yang merasakan kematian adalah tubuhnya bukan jiwanya..
Itu sebabnya lets say young forever..
Tidak ada orang yang rencana hidupnya baik pada usia 50 tahun, tetapi baru sibuk mensukseskannya pada usia 50 tahun.
Orang yang baru menikmati kehidupan pada umur 50-60 tahun, sebetulnya dia sudah sukses jauh pada umur sebelumnya.
Berarti orang tua hanya menikmati keberhasilan masa mudanya.
Maka tugas kita adalah berhasil semuda mungkin..
Mari kita temukan cara-caranya supaya kita bisa berhasil semuda mungkin.
Apa itu sukses…? apa itu berhasil …?
Supaya di masa tua tidak lagi tersiksa dengan kehausan di masa muda
“Jadilah seindah-indahnya pribadi Anda sekarang, caranya yaitu dengan meniru”
Mana yang lebih penting dalam hidup yang bermimpi atau hidup yang bertindak?
Apakah kita bisa bertindak tanpa disemangati sesuatu yang besar?
Bermimpi itu harus..
Mimpi itu warna dari gelora hati ..
Apakah sama prilaku orang yang melihat dirinya nanti menjadi pemimpin besar,dengan nanti menjadi pesuruh kecil..?
Jadi sebagai anak muda harus isi mimpi sebesar-besarnya, karna tugas kita adalah harus berlaku menuntaskan dari impian itu, masalah terkabulkan atau tidak itu urusan Tuhan.
Jadi bermimpilah tinggi dan bertindaklah segera.
Bidang studi tidak menentukan keberhasilan seseorang.
Kuliah itu tidak harus bekerja dibidang tersebut..
Sekolah atau kuliah bukan untuk bidangnya tetapi untuk memastikan anda untuk berpikir pada tingkat yang lebih tinggi.
Belajarlah apapun asal itu meningkatkan kemampuan berpikir..
“Masalah yang dibuat pada tingkat pikiran rendah tidak bisa diselesaikan oleh orang dengan tingkat pikiran yang sama.”
Penentu kesuksesan adalah kualitas pribadi
Karena sekolah membangun kemampuan tingkat berpikir..
Orang-orang berhasil karena tingkat kemampuannya tinggi..
Rahasia orang sukses adalah menghubungkan titik-titik antara impiannya, dengan yang dilakukannya sekarang..
Hal ini membutuhkan pola berpikir yang baik,“Kesuksesan seseorang yang pertama adalah menjadi orang yang baik”

Kesimpulan
Kita ini masa dimana kita sering merasa galau, yaitu masa ketidakjelasan masa depan..
Tuhanku…
I wanna be young forever
Maka bantulah aku untuk memelihara keremajaan dari semangatku
Keinginanku menjadi sesuatu yang besar
Karna aku belum dibatasi oleh pengalaman
Ijinkan aku untuk mencoba apapun
Karena orang tua yang telah terbatasi dengan pengalaman gagal, membatasi yang dicobanya..
Izinkan aku menjadi jiwa yang selalu muda,
Agar aku membantu kehidupan bangsa kita ini selalu remaja, ceria dalam kebahagiaan pada semua tingkat usia. Amin…




© 2012, lela987654. All rights reserved.
Mario Teguh Golden Ways: Forever Young is a post from: salamsuper[dot]com

Monday 29 October 2012

Bersyukur: Nikmat Ditambah. How Come?

Ketika selesai sebuah pertunjukan, pianis terkenal itu dihampiri seorang anak yang meminta tanda tangan darinya.
“Tapi tangan saya sudah capek karena main tadi”, kata pianis itu. Si anak menjawab, “Om, tangan saya juga capek bertepuk tangan lamaaaa sekali buat Om. Sambil berdiri malah.”
Pianis itu tercenung. Wajahnya bersemu merah menyadari bahwa dirinya merasa senang atas apresiasi si anak, seperti yang juga diberikan oleh ratusan orang di ruangan tadi. Dan sekarang, dirinya malah berusaha menghindar dari seorang anak kecil yang cuma meminta tanda tangan, hanya karena merasa kecapekan. Pianis itu mulai menyadari penyusutan rasa syukur dalam dirinya belakangan ini.
Jika kita bersyukur maka nikmat akan ditambah. Bagaimana bisa?
Rasa syukur akan menyingkap tirai dan menghapus kabut yang melingkupi begitu banyak hal yang mestinya kita syukuri. Dengan mulai bersyukur, kita akan menemukan hal lain yang langsung kita sadari juga patut disyukuri. Rasa syukur ini, kemudian juga akan menemukan hal lain yang juga patut disyukuri.
Maka berjalanlah kita dari satu rasa syukur ke rasa syukur yang lain. Sesungguhnyalah, perjalanan dan petualangan dari satu syukur ke syukur yang lain, adalah perjalanan dari satu nikmat ke nikmat yang lain.
Dalam hal ini, segala kenikmatan itu telah diberikan kepada kita, tanpa kita menyadarinya. Kesadaran akan eksistensi kenikmatan ini, jelas-jelas adalah “penambahan kenikmatan” yang muncul dari makin pekanya sub modalitas alias panca indera dan turunannya.
Dalam waktu yang sama, petualangan rasa syukur ini, yang karena dijejali oleh berbagai penemuan akan kenikmatan, menciptakan state yang sangat kondusif untuk kepentingan learning, creativity, dan akhirnya mengarah pada penemuan solusi-solusi.
Rasa syukur akan menciptakan rapport atau rasa dekat sekaligus rasa senang dan rasa menyukai terkait dengan fenomena yang disyukuri. Dengan ini kita akan lebih peka dan lebih mampu melihat, mendengar, dan merasakan berbagai detil.
Dalam hal ini, segala kenikmatan itu terbuka dan terkuak dengan bentuk kenikmatan pembelajaran dan penemuan, kenikmatan kreatifitas dan berkreasi, dan kenikmatan menemukan solusi.
Sangat mungkin, kenikmatan solusi itu juga muncul dari pintu tak tak disangka-sangka.
Maka, mampukah kita menghitung kenikmatan yang dianugerahkannya- Nya?
Jika suatu saat Anda merasa mentok, merasa kurang kreatif, merasa putus asa, merasa tak menemukan jawaban dan putus harapan dari segala persoalan di dalam hidup Anda;
Maka Anda akan tahu harus bagaimana.
Semoga Kita termasuk golongan yang bersyukur.

Friday 26 October 2012

makna qurban

Setiap apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pastilah mengandung makna, bukan hanya filsafat yang hampa apalagi sandiwara yang sia-sia. Dia akan membuahkan nilai-nilai yang berguna baik bagi pribadi dan masyarakat apabila dilaksanakan secara benar sesuai dengan tuntunan-Nya. Marilah kita renungi makna yang terkandung dalam qurban ini.

Sebagaimana kita ketahui ibadah qurban ini bermula dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim agar menyembelih putranya semata wayang Nabi Ismail as. Dalam hal ini digambarkan oleh sebuah hadits sebagai berikut:
“Para sahabat bertanya, “apakah maksud qurban ini?” Beliau menjawab, “Sunnah Bapakmu, Ibrahim.” Mereka bertanya, “apa hikmahnya bagi kita?” Beliau menjawab, “Setiap rambutnya akan mendatangkan satu kebaikan.” Mereka bertanya, “Apabila binatang itu berbulu?” Beliau menjawab, “Pada setiap rambut dari bulunya akan mendatangkan kebaikan” (HR. Ahmad).
Diriwayatkan oleh para ahli tarikh, bahwa kehidupan Nabi Ibrahim adalah kehidupan penuh dengan perjuangan, keterlunta-luntaan, jihad dan perang melawan kebodohan kaumnya, kefanatikan penyembah berhala termasuk ayahnya sendiri, penindasan Namrudz sedang istrinya sendiri Sarah, yang mandul adalah seorang ningrat yang fanatik.
Sebagai seorang nabi yang menyerukan Tauhid, Ibrahim melaksanakan tugas berat dalam sebuah masyarakat yang tiran dan penuh perlawanan. Namun setelah seabad lamanya menanggungkan segala macam derita dan siksaan, ia berhasil menanamkan kesadaran ke dalam diri manusia-manusia akan cinta kemerdekaan dan keberagamaan.
Setelah tua Ibrahim menjadi kesepian. Sebagai manusia ia ingin mempunyai anak. Istrinya mandul sedang ia sendiri telah berusia seabad lebih. Ia tidak berpengharapan. Ia hanya dapat mendambakan. Allah akhirnya melimpahkan karunia-Nya kepada lelaki tua ini karena ia telah mengabdikan seluruh hidupnya dan karena ia telah menanggungkan penderitaan demi menyebarluaskan syari’at-Nya. Melalui hamba perempuannya yang hitam dari Ethiopia yang bernama Hajar, Dia mengaruniai Ibrahim dengan seorang putra, Ismail. Allah berfirman:
Maka Kami gembirakan dia dengan seorang anak yang sangat penyantun” (QS. Ash-Shaffat: 101).
Ismail bukanlah hanya seorang putra bagi ayahnya. Ismail adalah buah dambaan Ibrahim seumur hidupnya. Sebagai seorang putra tunggal dari seorang lelaki tua yang telah menanggungkan penderitaan berkepanjangan. Ismail adalah yang paling dicintai oleh ayahnya. Namun tanpa diduga, Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya, harapan dan dambaan hidupnya yang paling dicintai itu.
Betapa goncang jiwa Ibrahim ketika menerima perintah ini. Setelah perintah itu ia sampaikan kepada anaknya dan anaknya menerimanya, akhirnya kedua hamba Allah ini pasrah melaksanakan perintah Allah ini. Allah menggambarkan peristiwa yang sangat dramatis ini dengan firman-Nya:
“Tatkala keduanya telah pasrah dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya. Dan Kami panggil dia. “Hai Ibrahim, kamu telah membenarkan mimpi (perintah) itu, sesungguhnya demikianlah Kami membalas kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Kemudian Allah menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar dan inilah yang diabadikan dengan syari’at qurban hingga saat ini.
Jadi qurban adalah perlambang kesediaan seseorang untuk mengorbankan barang yang paling dicintai dalam rangka mengabdikan diri di jalan Allah.

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya” (QS. Saba: 39).
Dengan demikian kalau ita mau explore lebih jauh, makna/hikmah berkurban ada beberapa variable: bersyukur, berbagi dan memerangi hawa nafsu.
Semoga kita mampu mengamalkannya, Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Prof. Dr. Ahmad Safi'i Ma'arif

Prof. Dr. Ahmad Safi'i Ma'arif

(Ketua 1998 - 2005)


Buya Safii, demikian sapaan akrab Prof. DR. Ahmad Safii Maarif. Tokoh pluralis yang tak sedikit menyumbangkan gagasan dan pemikiran keislaman dalam naungan payung besar kemajemukan bangsa Indonesia ini lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Masa kecil Buya Syafii yang sangat dekat dengan tradisi Islam telah menjadi magnet awal yang senantiasa mengajaknya bergumul dengan pengetahuan keislaman serta berusaha memahaminya sedalam mungkin. Geliat hidup demikian itu, dapat dikata pula berkat bimbingan dari almarhumah ibunya, Makrifah. Ketajaman minat Buya Safii mendalami Islam kian terasah dan makin tajam oleh pendidikan yang dijalaninya kemudian, dan pada akhirnya membentuk dirinya hidup secara kental dalam kultur Islam.
Setamat Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di kampung kelahirannya, Buya Safii menginjakkan kaki di lantai sekolah Madrasah Mu’allimin Lintau, Sumatera Barat. Sampai kemudian menyebrangkan kakinya jauh melintasi lautan untuk melanjutkan sekolah ke Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta, dan tamat tahun 1956. Berbekal ilmu agama di Mu’allimin itu, Buya Safii pun menerima dengan lapang dada tugas pengabdian yang harus diembannya ke Lombok Timur selama satu tahun sebagai guru di sekolah Muhammadiyah.
Setelah menjalani masa pengabdian itu, Buya Safii melanjutkan studinya kembali ke perguruan tinggi, meskipun ikhtiar menempuh pendidikan tinggi baginya bukanlah hal yang mudah. Namun tekad dan semangatnya menimba ilmu telah membuatnya mampu menerabas segala rintangan. Bayangkan, dalam keadaan yatim piatu Buya Safii masih sanggup merentang jerih usahanya dengan hanya ditopang saudaranya untuk bisa duduk sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta. Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak, kenangnya mengilus­trasikan perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara dengan Majalah Kuntum.
Baru satu tahun kuliah, pemberontakan PRRI/Permesta meletus dan menyebabkan terputusnya jalur hubungan Sumatera-Jawa. Dengan demikian, bantuan biaya kuliah dari saudaranya terputus, sehingga Buya Safii memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Masa itu cukup getir, dimana Buya Safii harus menyambung hidup sebagai guru desa di wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Tak salah banyak orang memuji semangat keilmuannya, motivasi belajar Buya Safii tak berhenti hanya oleh getah getir kesulitan hidup yang membelintang di hadapannya. Sembari bekerja, suami siti hi hi... dan ayah dari ketiga putra-putrinya: la, lu, li, (maaf belum menemukan siapa nama istri dan anak-anaknya) Buya Safii kembali melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah, karena tidak mungkin lagi kembali ke Fakultas Hukum. Gelar Sarjana Muda berhasil diraihnya dari Universitas Cokroaminoto pada tahun 1964, sedangkan gelar Sarjananya diperoleh dari IKIP Yogyakarta empat tahun kemudian. Kepakarannya di bidang sejarah semakin teruji setelah memperoleh gelar Master dari Ohio State Universitas, Amerika Serikat.
Pilihan yang tak sengaja itu ternyata telah menuntun saya menemukan hikmah kemanusiaan, komentarnya ringan dalam sebuah wawancara dengan KOMPAS.
Gelar Doktoralnya diperoleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago dalam Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Anak bungsu di antara empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran dengan bimbingan seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazrul Rahman. Di sana pula, Buya Safii kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang menjalani pendidikan doktor.
Buya Safii mengakui bahwa ilmu dan pengetahuan sejarah telah demikian memikat minatnya karena sejarah berbicara tentang simpul-simpul kemanusiaan secara totalitas. Tak heran jika dalam sebuah ungkapannya terlukis kesan itu: Sudah 25 tahun terakhir, perhatian terhadap sejarah, filsafat dan agama melebihi perhatian saya terhadap cabang ilmu yang lain. Namun saya sadar sepenuhnya, bahwa semakin saya memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya. Tidak jarang saya merasa sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan tanpa batas.
Dari proses itu pula, rasa humanisnya tumbuh dan memperdalam perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Kehidupan relegius yang kuat berurat akar dalam sanubarinya kemudian memercik indah dalam tafsir dan ajakan membumikan islam dalam kembangan Hablumminnas yang sejati: saling mencintai dan mengasihi sesama manusia di muka bumi. Dan menyerukan agar Islam tak dipeluk dalam keyakinan sebatas ritual, namun juga harus mampu mengembangkan praktik dan perilaku hidup keislaman dengan memeluk utuh Islam sesuai seruan hakikinya: rahmatan lil’alamin.  
”Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya lautan jelajah yang hendak dilayari.” Kalimat bersahaja itu terlontar pada mukaddimah pidato Pengukuhan Guru Besar-nya di IKIP Yogyakarta. “Rendah hati adalah refleksi dari iman,” sambungnya.
Maka tak berelebihan, jika begitu banyak orang yang terpukau dan takzin pada sosok Buya Safii sebagai ilmuwan yang selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap pergulatan dengan ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah masyarakat lehadirannya selaku anak bangsa lebih dikenal sebagai seorang agamawan. Tidaklah kamu diberi ilmu, kecuali sedikit saja, pungkasnya mengutip sebuah ayat suci Al-Quran. Ini adalah nasehat untuk meredam ambisi dan rasa ingin tahu manusia untuk tidak melangkahi kawasan luar batas kemampuannya sendiri. Dalam pengertian itulah, maka timbul semakin kuat keyakinanya bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. Kita harus percaya pada realitas yang ada di luar jangkauan manusia, demikian tekannya. Alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa menjelaskan dirinya, diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian dan keberadaannya. Hanya wahyu yang kemudian menolong otak manusia dan persepsinya guna memahami semua fenomena itu. Hanya lewat agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan eksistensi manusia dan tentang makna kematian. Filsafat, apalagi sejarah, tidak mampu melakukannya.
Membaca buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Buya Safii, selain menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua PP Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung dan staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak heran kalau Buya Safii juga fasih menyitir ungkapan yang berharga dari kalangan ilmuwan, dan juga kaya dengan ungkapan-ungkapan puitis yang bermakna cukup mendalam.
Bahkan keterlibatan Buya Safii sebagai Ketua Umum Muhammadiyah merupakan sebuah keharusan sejarah itu sendiri. Tatkala desakan reformasi sedang bergulir di Indonesia, dan Amien Rais sebagai salah satu lokomotif pendesak yang saat itu menakhodai Muhammadiyah harus melibatkan diri dalam aktivitas politik untuk mengawal gerak roda reformasi secara praktis, maka sebagai nakhoda pengganti Buya Safii sadar bahwa pada saat itu pula Muhammadiyah seumpama bahtera induk yang harus tetap diarahkan ke haluan utamanya agar tak terseret-seret oleh tarikan arus pergumulan politik praktis dan kepentingan jangka pendek.
”Janganlah kita berlama-lama berada dalam iklim ketidakpastian masa depan, sebab itu berarti kita membiarkan bangsa ini berkubang dalam proses pembusukan sejarah. Sungguh memalukan dan melelahkan!”
Setelah kembali terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam Muktamar ke-44 (2000) yang berlangsung di Jakarta, Buya Safii kemudian mengemudikan perannya dalam mendinamisasi Muhammadiyah agar dapat secara optimal menggerakkan usaha-usaha tajdid dan cita-cita pencerahan yang hendak diraihnya. Jangan sampai gerakan pembaharuan sebagai dasar filosofis Muhammadiyah tergerus dan hanya menjadi slogan kosong dalam aktualisasi gerakannya. Salah satu usahanya adalah mendorong laju kebangkitan intelektual di kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah, sebab sangat menyadari bahwa keilmuan dan keislaman adalah semangat inti segala gerak Muhammadiyah. Dimana kepemilikan ilmu dan daya intelektualitas adalah pintu gerbang kemampuan memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah, dan AMM sebagai pelaku sejarah gerakan Muhammadiyah masa depan menjadi juru kunci cerah dan buramnya wajah Muhammadiyah dalam pergulatan dunia.
Dalam sebuah catatan pendeknya, Buya Safii mempertegas suara hidupnya sebagai bapak bangsa: Aku mencintai bangsa ini secara tulus dan dalam sekali. Bagiku, membela bangsa adalah dalam rangka membela Islam. 
Usaha dan perjuangan Buya Safii tak berhenti tatkala meletakkan kepemimpinan Muhyammadiyah pada gernerasi di bawahnya. Buya kemudian mendirikan Maarif Institud sebagai wahana melanjutkan ikhtiar dalam rangka mengawal dan menggapai kebangkitan intelektual di kalangan generasi muida Islam. Kini, di bawah layar Maarif Institud, Buya Safii pun kian menancapkokohkan jejaknya sebagai tokoh pluralis yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemajukan dakam bingkai keislamam, keindonesiaan dan kemanusiaan.

Prof. Dr. H. Amien Rais

Prof. Dr. H. Amien Rais

(Ketua 1995 -1998)


Meskipun tak semua nama otomatis mewakili kepribadian seseorang, namun membaca nama Tokoh Sentral Reformasi Indonesia 1998 satu ini sudah cukup sebagai referensi awal untuk melihat sosoknya yang besar. Prof. Dr. Muhammad. Amien Rais, MA. yang lebih populer dikenal Amien Rais adalah sosok pemimpin terpercaya di republik ini. Lahir pada 26 April 1944 di Surakarta. Orang tuanya berharap putra kedua dari enam bersaudara ini menjadi kyai dan melanjutkan pendidikan agama ke Mesir, sehingga pendidikan yang ditanamkan Syuhud Rais dan Sudalmiyah, ayah dan ibunya, sejak dini sudah mencerminkan nilai-nilai agama yang sangat menekankan tumbuhnya kepribadian disiplin, taat beribadah, banyak membaca dan berbudi pekerti. Dari lingkungan sekitarnya, Amien Rais juga banyak belajar tentang realitas masyarakat dimana dirinya sangat dekat dengan kondisi keluarga miskin, kampung sederhana, dan bahkan memahami betul bentuk ruang tidur dan dapurnya yang alakadarnya.
. Amien Rais menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Muhammadiyah I Surakarta, sampai pendidikan SMP dan SMU juga selesai di sekolah Muhammadiyah. Pendidikan tingkat sarjana Amien Rais selesaikan di Jurusan Hubungan Internasional fakultas FISIPOL Universitas Gadjah Mada pada tahun 1968, bahkan tahun berikutnya juga menerima gelar Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di masa-masa mahasiswa inilah Amien Rais terlibat aktif dan berperan di berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan Mahasiswa Muham­madiyah (Ketua Dewan Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta). Studinya dilanjutkan pada tingkat Master bidang Ilmu Politik di University of Notre Dame, Indiana, dan selesai tahun 1974. Dari universitas yang sama juga memperoleh Certificate on East-European Studies. Sedangkan gelar Doktoralnya diperoleh dari University of Chicago, Amerika Serikat (1981) dengan mengambil spesialisasi di bidang politik Timur Tengah dan selesai tahun 1984. Disertasinya yang cukup terkenal, berjudul: The Moslem Brotherhood in Egypt: its Rise, Demise, and resurgence (Organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan dan Kebangkitannya kembali). Program Post-Doctoral Program di George Washington University pada tahun 1986 dan di UCLA pada tahun 1988 pernah pula diikutinya.
Saat mengenang Zainal Zakze Award yang di raihnya tahun1967, sebuah penghargaan jurnalisme bagi penulis mahasiswa krits, Amien Rais hanya berkomentar pendek ”Sejak itu, saya tidak pernah tidak kritis.” 
Sebagai ilmuwan dan akademisi sekaligus Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada, Amien Rais mengajar mata kuliah Teori Politik Internasional, Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah, Teori-teori Sosialisme, hingga memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik di Program Pascasarjana Ilmu Politik. Selain itu, Amien Rais mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), lembaga yang konsen dalam kegiatan pengkajian dan penelitian sebagai bentuk keprihatinan atas terbatasnya produk kebijakan menyangkut masalah-masalah strategis yang berorientasi pada penguatan pilar-pilar kehidupan masyarakat. Perjalanan pendidikan Amien Rais memberinya tak sedikit pengalaman dan kemampuan kognitif-analitis, dimana kemampuan itu mengantarnya menjadi salah seorang intelektual terkemuka di negeri sendiri dan di berbagai negeri mancanegara. Sepanjang rentang aktivitas sekembalinya ke Tanah Air setelah sekian lama malang-melintang menimba ilmu di negeri Paman Sam, tugas-tugas intelektualisme yang kemudian Amien Rais geluti --baik berupa transfor­masi keilmuan dengan mengajar di berbagai universitas maupun dengan melakukan kritik atas fenomena sosial yang sedang berlangsung-- meneguhkan sosoknya yang memiliki daya kepemimpinan di atas rata-rata dan dapat dipercaya. Kritiknya yang sangat vokal bahkan mewarnai opini publik di Indonesia. Dan sebagai pakar politik Timur Tengah, Amien Rais juga seringkali melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempatnya sendiri belajar tentang demokrasi dan hak asasi manusia.
Konsistensi Amien Rais dalam menolak sikap lembek bangsanya terhadap intervensi asing dan budaya koorporatokrasi yang menjagal hak-hak dasar hajat hidup bangsa Indonesia sendiri terekam jelas dalam buah pikirnya pada buku: Selamatkan Indoenesia; Agenda Mendesak Bangsa. Dalam komentarnya tentang buku itu, Amin Rais tak segan-segan mengakuinya sebagai Angry Book (buku yang marah). “Saya mencoba menggugah anak anak-anak bangsa yang sudah dibrainwashing sejak jaman londo dahulu, dan sekarang masih melekat sebagai mental inlander. Tanpa melepaskan mental inlander (mental budak), kita tidak bisa bangkit. Sayangnya, pemimpin kita tidak mengikuti Sultan Agung Mataram tapi malah mengikuti Amangkurat I dan II yang menjual Pelabuhan Cirebon (pada bangsa asing) dan memanggil eyang pada Gubernur Jendral Belanda”. Tukasnya tanpa tedeng aling-aling dalan sebuah kesempatan diskusi Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah (2008).
Jauh masa sebelum Amien Rais melontarkan hal itu, perannnya sebagai cerdik cendekia terkemuka telah menempatkannya di posisi Ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang lahir dan besar dari rahim Orde Baru. Namun, kondisi politik dan perekonomian yang sudah terlanjur membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi mendorongnya mengambil langkah berani yang tidak populer dan bersuara lantang tentang silang sengkarut praktik KKN (korupsi, kolusi, Nepotisme) di tubuh birokarasi serta eksploitasi serakah kekayaan negeri yang sangat merugikan negara di sejumlah perusahaan besar asing seperti Busang dan Freeport . Seperti resiko yang diduga banyak orang, Amien Rais kemudian terpental dari posisinya di ICMI.
Namun kehadirannya di Muhammadiyah dan lompatan-lompatan gagasannya justru dianggap sejalan dengan watak gerakan pembaharuan yang kritis dan korektif, hal itu kemudian menuai dukungan penuh. Maka tahun 1993, dihadapan peserta Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung di Surabaya Amien Rais kembali menggulirkan issu besar, yakni perlunya suksesi kepresidenan. Sebuah langkah janggal pada saat itu sebab gurita kepemimpinan Orde Baru masih sangat mencengkeram. Keberaniannya mengambil resiko yang tak jarang bahkan mengancam jiwanya, diakui suami Kusnariyati Sri Rahayu ini sebagai sikap amal ma’ruf nahi mungkar yang sesungguhnya amanat dan sekaligus ruh gerakan dakwah Muhammadiyah. Aminen Rais juga merasa bahagia menerjang segala resiko perjuangannya karena mendapat support penuh dari istri dan kelima putra-putrinya: Ahmad Hanafi, Hanum Salsabilla, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan Ahmad 
 
”Saya dulu dididik ibu untuk amar ma’ruf. Menurut beliau, melaksanakan amar ma’ruf tidak ada resikonya. Orang yang tidak setuju pun tidak marah. Tapi, melaksanakan nahi mungkar banyak resikonya,” gugahnya nan bersahaja.   
Proses ragi politik yang terus membusuk dan melemahkan sendi-sendi ekonomi bangsa pada dasa­warsa kedua tahun 1990-an, mendorong Amien Rais kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan dengan desakan lebih luas: Reformasi Total. Berawal dari kasus Freeport dan Busang, Amien Rais sengaja meggerbah kelesuan perubahan sosial yang mendasar di negeri ini. Bahkan, gagasan dan gerakannya berada di garda paling depan dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru. Sejak awal bergulirnya reformasi, Amien Rais sudah menyatakan ”siap” mencalonkan diri sebagai presiden. Ini sebuah pernyataan yang dinilai sangat berani pada saat itu meskipun diakuinya sendiri hanya sebatas political education. Namun wacana pencalonan dirinya sebagai presiden, bukanlah semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa melainkan cermin sikap high politic-nya yang konsekwen mendorong upaya pengentasan penderitaan rakyat akibat distorsi kepemimpinan nasional yang otoriter dan korup. Amien Rais melihat keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki mulai dari tampuk kekuasaan.
Keterlibatan Amien Rais di Pimpinan Pusat Muham­madiyah dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua Majelis Tabligh. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 (1990) di Yogyakarta, Amien Rais terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Meninggalnya K.H. Ahmad Azhar Basyir selaku Ketua Umum Muhammadiyah pada tahun 1994 kemudian mendaulat Sang Pemberani ini ke posisi puncak itu. Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Banda Aceh akhirnya secara aklamasi meminta kesediannya melan­jutkan tampuk nakhoda Muhammadiyah.
Dapat dikata, aktivitas bermuhammadiyah Amien Rais tidak pernah terlepas dari pandangan keprihatinannya terhadap kehidupan politik nasional yang menurutnya perlu direfor­masi untuk menghindari keterpurukan bangsa yang semakin dalam. Setelah tumbangnya Rezim Orde Baru dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden selama 32 tahun, situasi politik berlangsung mencekam dan sangat meresahkan. Maka bersama berbagai komponen tokoh bangsa lainnya Amien Rais mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) untuk mencari solusi terbaik pasca reformasi. Tak sedikit yang mengaggap sudah kepalang tanggung jika Amien Rais harus berhenti hanya sampai disitu, atas desakan dari berbagai komponen bangsa yang menginginkan perubahan para­digma politik Indonesia, Amien Rais kemudian mendirikan partai politik yang diberi nama Partai Amanat Nasional (PAN). Sebagai konsekuen­si­ dari langkah politik itu, Amien Rais harus melepaskan posisi puncak di Muhammadiyah.
”Muhammdiyah adalah rumah abadi saya,” tegasnya tak dapat mengelakkan rasa haru.
Kiprah Amien Rais selama mamainkan peran awal hingga sekarang di pentas politik nasional cukup fenomenal. Partai Amanat Nasional yang kemudian dinakhodainya sendiri berhasil cukup gemilang dalam mengikuti pemilu pertamakali tahun 1999, dimana partai berlambang matahari itu mampu meraup perolehan suara 7% dan menempatkan posisinya di peringkat ke-5 dalam perolehan suara nasional seluruh partai kontestan. Posisi tersebut, berhasil pula mengantarkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI). Dalam posisi paling atas lembaga tertinggi negara itu, Amien Rais menjadi king maker regulasi demokrasi nasional. Bahkan dengan kepiawaian dan kecerdasan politiknya, Amien Rais menggulirkan gagasan Poros Tengah untuk membangun jalan baru dari dua titik ekstrim dalam kubu politik yang cenderung berlaku zero some game sebab tersandung kebekuan hubungan politik, sampai kemudian berhasil mencalonkan, mengawal dan sekaligus mengantarkan Abdurrahman Wahid ke tampuk kursi Presiden ke-4 RI. Dan ternyata, gagasan Poros Tengah itu mampu memberi pengaruh pula bagi upaya merajut hubungan harmonis Muhammadiyah-NU yang sebelumnya kerap bersebrangan tegang dalam pilihan instrumen dan gerak dakwahnya. Meskipun keharmonisan hubungan itu tak lama disemai, sebab proses politik setelahnya berlangsung di luar duga, dimana presiden ke-4 RI yang tak lain tokoh sentral NU itu akhirnya dilengserkan secara konstitusional oleh MPR RI yang kebetulan masih dikomandanu Amien Rais.
Meskipun Amin Rais sendiri belum berhasil meraih kursi presiden ke-5 RI dalam kontestasi Pemilu Presiden yang diselenggarakan pertamakali secara langsung (2004), namun prestasi politiknya tak terpungkiri sejarah bangsa Indeonsia sebagai sosok bapak dan sekaligus sokoguru politik bangsa yang mewakili lima nilai istimewa rapor politikus era reformasi: Ikhlas, cerdas, tegas, jujur dan bersih. Kini, menjelang usia lanjut dan tampak mulai memasuki masa sepuh, Amin Rais masih segar sumringah berkiprah di Muhammadiyah.

 

Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA

Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA

(Ketua 1990 - 1995)

 Tokoh kharismatik dan pejuang perang sabil ini dikenal sebagai ulama yang sederhana, dan tak sedikit pula orang yang kagum pada kecemerlangan iktelektualnya. Azhar Basyir, demikian Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA kerap disapa. Ulama-intelektual ini lahir di Yogyakarta, 21 November 1928. Masa kecilnya tumbuh dan dibesarkan di lingkungan masyarakat yang kuat berpegang pada nilai agama. Yaitu, di kampung Kauman.
Selama 34 tahun Azhar Basyir malang melintang menggeluti studi formalnya di Tanah Air hingga luar negeri. Putra pasangan Haji Muhammad Basyir dan Siti Djilalah ini memulai pendidikan di Sekolah Rendah Muhammadiyah Suronatan, Yogyakarta. Setelah tamat, Azhar Basyir lantas nyantri di Madrasah Salafiyah, Ponpes Salafiyah Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Setahun kemudian, Azhar Basyir berpindah ke Madrasah Al-Fallah Kauman dan menyelesaikan pendidikan tingkat menengah pertamanya pada Tahun 1944. Pendidikan lanjutan kemudian ditempuhnya di Madrasah Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah Yogyakarta dan rampung dalam dua tahun.
   Pada masa revolusi, Azhar Basyir bergabung dengan kesatuan TNI Hizbullah, Batalion 36 Yogyakarta. Pasca kemerdekaan, Azhar Basyir kembali ke bangku study melalui Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta tahun 1949, dan tamat tahun 1952. Baru kemudian meneruskan ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta. Berkat kegigihan yang ditunjang kemampuan ilmu agamanya, Azhar Basyir dipercaya menjadi ketua Pemuda Muhammadiyah tatkala lembaga ini baru didirikan tahun 1954. Jabatannya mendapat pengukuhan kembali pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Palembang tahun 1956. Tak lama tugas itu diembannya, Azhar Basyir mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Baghdad, Irak. Fakultas Adab Jurusan Sastra adalah bidang yang diambilnya. Dari sini, Azhar Basyir melanjutkan studi ke Fakultas Dar Al 'Ulum Universitas Kairo, serta belajar Islamic Studies sampai meraih gelar master dengan tesis: Nizam al-Miras fi Indunisia, Bain al-'Urf wa asy-Syari'ah al-Islamiyah (Sistem Warisan di Indonesia, antara Hukum Adat dan Hukum Islam).
Sekembalinya ke Indonesia selama study di Timur Tengah, Azhar Basyir diangkat sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak hanya bidang keilmuan yang ditekuninya, di lapangan organisasi Azhar Basyir pun aktif terlibat. Bahkan sejak duduk di sekolah menengah sudah bergiat di Majelis Tabligh Muhammadiyah. Karir berorganisasinya dimulai sebagai Juru Tulis yang tugasnya mengetik dan mengantar surat. Barulah kemudian Azhar Basyir masuk dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yaitu di Majelis Tarjih sampai tahun 1985.
   Pada Muktamar Muhammadiyah di Semarang tahun 1990, ulama intelektual ini diberi amanah di jajaran Ketua PP Muhammadiyah. Saat memasuki musim haji tahun 1994, pemerintah menunjuknya selaku perwakilan Amirul Haj Indonesia. Pulang dari Tanah Suci, Azhar Basyir kembali bekerja keras. Dan pada saat yang sama, duduk di beberapa organisasi seperti menjadi salah satu ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat masa bakti 1990-1995, anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Muamalat Indonesia, serta anggota MPR-RI periode 1993-1998. Pada usia 65 tahun, tokoh kharismatik ini mulai memasuki masa pensiun dari kegiatan mengajar di Fakultas Filsafat UGM. Tetapi, tetap bertekad mengabdikan ilmunya dengan mengajar di Fakultas Hukum UGM, IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
    Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1995, Azhar Basyir terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR Fakhruddin. Berkenaan dengan dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir menyatakan bahwa Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan dzikir. Demikianlah ketegasan tokoh ini dalam menetapkan garis kebijakan Muhammadiyah. Melalui gagasan dan pemikirannya itulah Azhar Basyir dikenal sebagai ulama yang banyak menguasai ilmu agama, kehadirannya dalam khazanah pemikiran Islam seumpama sumur yang tak surut ditimba. Dapatlah dikata, Azhar Basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual. Oleh karenanya, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya cukup intens memunculkan kegiatan yang berbentuk pengajian dan kajian dalam mengurai berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman. Karya ilmiah yang pernah ditulis Azhar Basyir cukup banyak dijadikan rujukan dalam kajian ilmiah di berbagai Universitas di Tanah Air. Di waktu senggangnya, Azhar Basyir juga bergiat menulis buku. Di antara karya-karyanya adalah Refleksi Atas Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi); Garis-garis Besar Ekonomi Islam; Hukum Waris Islam; Sex Education; Citra Manusia Muslim; Syarah Hadits; Missi Muhammadiyah; Falsafah Ibadah dalam Islam; Hukum Perkawinan Islam; Negara dan Pemerintahan dalam Islam; Mazhab Mu’tazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat Islam); Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila; Agama Islam I dan II, dan lain-lain. Selain itu, Magister dalam ilmu Dirasat Islamiyah ini diakui secara internasional sebagai ahli fiqih yang disegani. Itulah mengapa, sosoknya dengan mudah diterima duduk di Lembaga Fiqih Islam: Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang memiliki persyaratan ketat.
    Tepatnya pada awal Juni 1994, ulama ini masuk rumah sakit karena komplikasi penyakit gula, radang usus, dan jantung. Kondisinya kian memburuk. Hingga akhirnya, wafad di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sarjito setelah dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Azhar Basyir wafad tepat pada tanggal 28 Juni 1994 dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karangkajen Yogyakarta.

 

KH Abdur Rozak Fachdrudin

KH Abdur Rozak Fachdrudin

(1971 - 1985)

 Pak AR demikian nama panggilan akrab Kiai Haji Abdur Rozak Fachruddin, adalah pemegang rekor paling lama memimpin Muhammadiyah, yaitu selama 22 tahun (1968-1990). Pak AR lahir 14 Februari 1916 di Cilangkap, Purwanggan, Pakualaman, Yogyakarta. Ayahnya, K.H. Fachruddin adalah seorang Lurah Naib atau Penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka Paku Alam VIII, berasal dari Bleberan, Brosot, Galur, Kulonprogo. Sementara ibunya adalah Maimunah binti K.H. Idris, Pakualaman.
Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah formal di Standaard School Muhammadiyah Bausasran, Yogyakarta. Setelah ayahnya tidak menjadi Penghulu dan usahanya dagang batik juga jatuh, maka ia pulang ke desanya di Bleberan, Galur, Kulonprogo. Pada tahun 1925, ia pindah ke sekolah Standaard School (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Prenggan, Kotagede, Yogyakarta. Setamat dari Standaard School Kotagede tahun 1928, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baru belajar dua tahun di Muallimin, ayahnya memanggilnya untuk pulang ke Bleberan, dan belajar kepada beberapa kiai di sana, seperti ayahnya sendiri, K.H. Abdullah Rosad, dan K.H. Abu Amar. Sehabis Mahgrib sampai pukul 21.00, ia juga belajar di Madrasah Wustha Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur, Kulonprogo.
Setelah ayahnya meninggal di Bleberan dalam usia 72 tahun (1930), pada tahun 1932 A.R. Fach­ruddin masuk belajar di Madrasah Darul Ulum Muham­madiyah Wanapeti, Sewugalur. Selanjutnya, pada tahun 1935 A.R. Fachruddin melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tablighschool (Madrasah Muballighin) Muhammadiyah kelas Tiga.
   Pada tahun 1935, A.R. Fachruddin dikirim (dibenum) oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah ke Talangbalai (sekarang Ogan Komering Ilir) dengan tugas mengembangkan gerakan dakwah Muham­madiyah. Di sana, ia mendirikan Sekolah Wustha Muallimin Muhammadiyah, setingkat SMP. Pada tahun 1938, ia juga mengembangkan hal yang sama di Ulak Paceh, Sekayu, Musi Ilir (sekarang Kabu­paten Musi Banyu Asin). Pada tahun 1941, ia pindah ke Sungai Batang, Sungai Gerong, Palembang sebagai pengajar HIS (Hollandcse Inlanders School) Muhammadiyah, setingkat dengan SD.
Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang menyerbu pabrik minyak Sungai Gerong. Dengan sendirinya sekolah tempat mengajarnya ditutup. Kemudian A.R. Fachruddin dipindahkan ke Tebing Grinting, Muara Meranjat, Palembang sampai tahun 1944. Selama bertugas itu Pak AR mengajar di sekolah Muhammadiyah serta memimpin dan melatih HW, memberi Pengajian dan sebagainya
Ketika kembali Yogyakarta, ke desanya Bleberan, Kulon Progo (tahun 1944), A.R. Fachruddin terus aktif berdakwah dalam Muhammadiyah. Ketika pada tahun 1950 pindah ke Kauman Yogyakarta, A.R. Fachruddin tetap aktif sambil terus belajar kepada para assabiqunal awwalun Muhammadiyah, seperti K.H. Syudjak, KHA. Badawi, KRH. Hadjid, K.H. Muchtar, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Djohar, K.H. Muslim, K.H. Hanad, K.H. Bakir Saleh, K.H Basyir Mahfudz, Ibu Hj. Badilah Zuber dan sebagainya.
   Keterlibatan A.R. Fachruddin di pusat Muham­madiyah mengantarkan beliau menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, kemudian menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, selanjutnya menjadi anggota Dzawil Qurba Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sampai akhirnya dipercaya memimpin Muham­madiyah selama kira-kira 22 tahun (1968-1990).
Pak AR menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1968 setelah di-fait accomply untuk menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan wafatnya K.H. Faqih Usman. Dalam Sidang Tanwir di Ponorogo (Jawa Timur) pada tahun 1969, akhirnya Pak AR dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar pada tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam empat kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985 dan terakhir 1985-1990.
Dari riwayat perjalanan dakwahnya, dapat ditarik kesimpulan, Pak AR meniti karir di Muhammadiyah sejak dari bawah, yaitu menjadi anggota, menjadi muballigh yang ditugaskan di pelosok Sumatera Selatan dan di kampungnya sendiri, sampai pada pimpinan puncak yakni dipercaya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pak AR menjadi pemimpin setelah melalui proses yang amat panjang.
Melihat sosok Pak AR, akan didapatkan sebuah cermin, bahwa seorang pemimpin perlu menghayati bagaimana kehidupan ummat secara riil. Bagaimana derita dan nestapa ummat di tingkat bawah, bagaimana pahit getir berdakwah dan menggerakkan organisasi di tingkat Ranting yang jauh dari kota, yang serba kekurangan prasarana dan sarana. Susah payah, kesulitan-kesulitan, dan suka duka yang dialami seorang pemimpin yang bekerja di tingkat Ranting dan Cabang dapat memberi pengalaman yang berharga dan menjadikan seorang pemimpin menjadi arif dalam mengambil kebijakan dalam memimpin umat.
   Pak AR adalah ulama besar yang berwajah sejuk dan bersahaja. Kesejukannya sebagai pemimpin ummat Islam bisa dirasakan oleh ummat beragama lain. Ketika menyambut kunjungan pimpinan Vatikan, Paus Yohanes Paulus II di Yogyakarta, sebenarnya Pak AR menyampaikan kritikan kepada umat Katholik, tetapi kritik itu disampaikannya secara halus dan sejuk berupa sebuah surat terbuka.
Dalam surat itu, Pak AR mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim. Namun, ada hal yang terasa mengganjal bagi umat Islam Indonesia, bahwa umat Katholik banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang masih menderita dan miskin agar mau masuk ke agama Katolik. Mereka diberi uang, dicukupi kebutuhannya, dibangunkan rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk modal dagang, tetapi dengan ajakan agar menjadi umat kristen. Umat Islam dibujuk dan dirayu untuk pindah agama. Dalam tulisannya kepada Paus Yohanes Paulus II itu, Pak AR menyatakan bahwa agama harus disebarluaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif. Kritik ini diterima dengan lapang dada oleh ummat lain karena disampaikan dengan lembut dan sejuk dalam bahasa Jawa halus, serta dijiwai semangat toleransi yang tinggi.
Orang mengatakan bahwa Pak AR adalah penyejuk. Orang selalu mengatakan bahwa kelebihan Pak AR adalah kesejukan dalam menyampaikan dakwah. Gaya kepemimpinan Pak AR yang terasa adalah kesejukan.
Semasa hidupnya Pak AR memberi contoh hidup welas asih dalam ber-Muhammadiyah. Sikap hidup beliau yang teduh, sejuk, ramah, menyapa siapa saja, sering humor, dan bersahaja, adalah pantulan dari mutiara terpendam dalam nuraninya. Pak AR adalah penyebar rasa kasih sayang dalam kehidupan ber-Muhammadiyah, baik dengan sesama Muslim, bahkan juga non Muslim dalam persaudaraan kemanusiaan yang luhur. Beliau tidak pernah menyebarkan sikap dan suasana saling membenci, curiga, iri hati, saling ingin menapikan, apalagi suka menebar aib sesama dalam kehidupan ber-Muhammadiyah.
   Selain dikenal sebagai seorang mubaligh yang sejuk, ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Karya tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan pedoman. Di antara karya-karyanya ialah Naskah Kesyukuran; Naskah Enthengan, Serat Kawruh Islam Kawedar; Upaya Mewujudkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Amal; Pemikiran dan Dakwah Islam; Syahadatain Kawedar; Tanya Jawab Entheng-Enthengan; Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah Islamiyah; Al-Islam Bagian Pertama; Menuju Muhammadiyah; Sekaten dan Tuntunan Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Qur‘an dan Hadis; Chutbah Nikah dan Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat; Soal-Jawab Entheng-enthengan; Sarono Entheng-enthengan Pancasila; Ruh Muhammadiyah; dan lain-lain.     Ulama kharismatik ini tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muham­madiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, walaupun masih banyak Muktamirin yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. Setalah tidak menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah, dan menjabat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah, Pak AR masih aktif melaksanakan kegiatan tabligh ke berbagai tempat. Hingga akhirnya, penyakit vertigo memaksanya harus beristirahat, sesekali di rumah sakit. Namun, dalam keadaan demikian, sepertinya beliau tidak mau berhenti. Pak AR wafat pada 17 Maret 1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79 tahun.

KH Faqih Usman

KH Faqih Usman

(Ketua 1968 - 1971)

  Kyai Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904. Ia berasal dari keluarga santri sederhana dan taat beribadah. Faqih Usman merupakan anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu pengetahuan umum dari ayahnya sendiri. Menginjak usia remaja ia belajar di pondok pesantren di Gresik tahun 1914-1918. Kemudian, antara tahun 1918-1924 dia menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren di luar daerah Gresik. Dengan demikian, ia juga banyak mengua­sai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, karena penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemer­dekaan. Apalagi, pada penghujung abad 19 dan awal abad 20 itu di dunia Islam pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.
   Faqih Usman dikenal memiliki etos enter­preneurship yang kuat. Kegiatan bisnis yang dilakukannya cukup besar dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.
Keterlibatannya dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika ia diangkat sebagai Ketua Group Muhammadiyah Gresik, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu Cabang Muhammadiyah di Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya, karena kepiawaiannya sebagai ulama-cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada tahun 1936. Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu terpilih sebagai salah seorang staf Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menjelang meninggalnya, beliau dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun, jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat muda.
   Faqih Usman banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat membantu pengem­bangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan pergaulan­nya, sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat, seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937.
Pada tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya. Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan.
   Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan oleh rezim Orde Baru, maka Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini kemudian dikenal dengan Nota K.H. Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde Baru mau merehabilitasi Masyumi dari partai terlarang.
Faqih Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April l952 sampai 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU menuntut agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
   Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai anggota aktif Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Bersama dengan Mohammad Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut. Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Dalam keputusasaan tersebut, akhirnya Fakih Usman kembali ke Muhammadiyah yang menjadi basis aktivitas kemasyarakatannya.
   Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kepengurusan KHA. Badawi yang pertama (1962-1965), KH Fakih Usman merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenal dengan Kepribadian Muham­madiyah. Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, yang akhirnya diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.

KH Ahmad Badawi

KH Ahmad Badawi

(Ketua 1962 - 1965)

 

Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963) ini lahir di Kauman Yogyakarta, pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya, K.H. Muham­mad Fakih (salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik kandung K.H. Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah dari garis ayah, maka Ahmad Badawi memiliki garis keturunan dengan Panembahan Senopati.
Dalam keluarga Badawi sangat kental ditanam­kan nilai-nilai agama. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Diantara saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh pendi­dikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok belajar/organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.
Usia kanak-kanaknya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, untuk belajar tentang nahwu dan sharaf. Pada tahun 1913-1915 ia belajar kepada K.H. Dimyati di Pondok Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang pintar berbahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab. Pada tahun 1915-1920 Ahmad Badawi mondok di Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan. Badawi mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921. Pendidikan formalnya hanya didapatkan di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, yang belakangan berubah menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi SD Muhammadiyah.
Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja membuatnya harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi. Masing-masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya dengan berbagai macam cara, dengan tujuan untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda, dengan berbagai variasi sesuai dengan misi dan visi organisasinya.
Keinginan Badawi untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya dari berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah nomor 8.543 pada tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf Anis, t.t., p. 25).
Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo. Pada tahun 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan K.H. Mahfudz sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta bergabung di Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.
Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian membubarkan diri.
Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke-Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang handal di daerahnya.
Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi selalu terpilih dan ditetapkan menjadi Wakil Ketua. Pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.
Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muham­madiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muham­madiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat atau menjadi antek Soekarno, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya, bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan fatwa Kiai Badawi.
Bagi Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang terus jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan Soekarno sepertinya semakin menyukainya untuk balance of power policy (PP. Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muham­madiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif KHA. Badawi bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang menggerogoti­nya. Siraman rohani kepada Soekarno disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden.
Pada tahun 1968, dalam masa pemerintahan Orde Baru, Kiai Badawi diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Di DPA itu, ia memberikan nasehat kepada Presiden Soeharto di bidang agama Islam. Namun, KHA. Badawi sebenarnya hanya sedikit memberikan nasehatnya pada pemerintahan awal Orde Baru itu. Hal ini dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit yang disandangnya kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Sebagai seorang pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sju’abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji’il Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis, tt: 27).
KHA. Badawi meninggal hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muham­madiyah Yogyakarta. Usaha para dokter tidak bisa menghadang takdir Allah yang telah ditentukan atasnya. Di saat meninggal, KHA. Badawi masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di Muhammadiyah beliau ditempatkan sebagai Penasehat PP. Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.

Kyai Haji Muhammad Yunus Anis




Kyai Haji Muhammad Yunus Anis

(Ketua 1959 - 1962)

  Keluasan dan kekuatan pengetahuan agamanya, membuat tak sedikit orang percaya pada kealiman sosok Muhammad Yunus Anis yang kerap disapa pendek, Yunus Anis. Tak terkecuali kalangan tentara. Bukti nyata besarnya kepercayaan yang diberikan TNI (Tentara Nasional Indonesia), maka pada tahun 1945 TNI menobatkan Yunus Anis selaku Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik Indoenesia, atau biasa dikenal Imam Tentara. Selama mengemban tugas itu, Yunus Anis banyak memberikan pembinaan mental terhadap para tentara. Putra sulung sembilan bersaudara dari pasangan Haji Muhammad Anis dan Siti Saudah ini lahir di Kauman tanggal 3 Mei 1903. Persis seperti pengakuan yang tertuang dalam Surat Kekancingan dari Sriwandowo Tepas Dwara Putra Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1961, Yunus Anis tercatat sebagai keturunan ke-18 dari Raja Brawijaya V. Dengan demikian, berhak pula menyandang gelar Raden.

     Masa kecil Yunus Anis banyak mendapat tempaan teladan dari ayahnya, yang tak lain kawan seperjuangan KH Ahmad Dahlan. Bahkan nama sang ayah tercatat dalam recht person Muhammadiyah. Membaca Al-Qur’am dan pendidikan akhlaq, adalah ilmu pertama dan utama yang diperoleh dari kakek dan ayahnya.     Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad, Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati, kawan karib KH Ahmad Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut membawa dirinya tampil sebagai muballigh yang tangguh. Tamat dari pendidikan formalnya, Yunus Anis mengaktifkan diri sebagai muballigh sesuai pengetahuan agama yang diperolehnya. Tak segan-segan Yunus Anis terjun ke tengah-tengah masyarakat di berbagai daerah Tanah Air untuk mengembangkan misi dakwahnya dan sekaligus menyebar luaskan gerakan Muhammadiyah.
 
     Selama rentang pengabdiannya sebagai muballigh, Yunus Anis pernah mukim di berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh Darussalam hingga ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Serta pernah pula mukim di Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan. Di berbagai daerah yang disinggahi dan dimukiminya, Yunus Anis membuka jalan baru bagi berkembangnya Muhammadiyah dan banyak mendirikan cabang-cabang Persyarikatan Muhammadiyah. Besar andilnya dalam mengembangkan misi dakwah dan gerakan Muhammadiyah, pada akhirnya menempatkan sosoknya sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah.
 
     Yunus Anis kembali ke Yogyakarta karena diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Tugas itu diterimanya dengan penuh gairah, lalu berkiprah sungguh-sungguh dalam membina pemuda yang berjiwa agresif dan kreatif bersendikan nilai-nilai Islam. Dan, di kemudian hari diharapkan menjadi gemerasi penerus yang cakap, trampil, dilandasi iman yang teguh. Dalam kesempatan Apel Besar Htzbul Wathan di akun-alun utara Yogyakarta, Yunus Anis tampil membangkitkan semangat dengan hadir sambil menunggang kuda untuk memeriksa pasukan. Tampaklah pada dirinya ditunjang postur tubuhnya yang tinggi besar, sosok kepemimpinan yang tegas dan berkesan. Tak pelak, kesan itu kemudian tersiar luas di kalangan Muhammadiyah.    
 
     Selain itu, Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu, pernah mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
 
     Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
 
     Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia yang sangat membahayakan bagi instabilitas kondisi politik Tanah Air saat itu. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muham­madiyah periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.
 
      Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.

 

Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur

Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur

(Ketua 1956 - 1959)

 

Ranah Minang pernah melahirkan salah seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam Senin 26 Jumadil Akhir 1313 Hijriyah, bertepatan 15 Desember 1895 Masehi. Anak ketiga dari tujuh bersaudara yang merupakan karunia Allah pada kedua orang tuanya, yaitu Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah tokoh dan guru agama di kampung Ai Angek (Air Hangat), Maninjau.
Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari kedua orang tuanya. Selain itu, untuk pendidikan umum, ia belajar di Inlandshe School (IS) tahun 1902-1909. Di sini ia belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studinya di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukit tinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun, tawaran tersebut ditolak karena ia lebih tertarik untuk mempelajari agama, disamping saat itu ia sudah dirasuki semangat anti-penjajah Belanda.
Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia akan tetapi bahkan seringkali berupaya menghadang dan mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi seperti dengan membantu pihak-pihak Zending dan Missi Kristen dalam penyebarluasan agamanya. Maka, tidak menghe­rankan bila pada tahun 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Maghrib.
Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah) ia belajar kepada Haji Rasul (Dr. Abdul Karim Amrullah, ayahnya Buya HAMKA), seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Dibawah bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia belajar ilmu Tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, Al-Qur’an, tafsir, dan hadis dengan mustolah-nya. Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr. Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya HAMKA serta diberi gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian ia dikirim gurunya ke Kuala Simpang, Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun di Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.
Terjadinya pemberontakan melawan Inggris di Mesir menghambat keinginannya untuk melan­jutkan studi di universitas tertua di dunia, Universitas Al-Azhar Kairo, karena ia tidak diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya, ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.
Kegelisahan pikirannya yang selalu meng­inginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan K.H. Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang dari Sungai Batang, Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah di Pekalongan.
Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan di Sumatera Barat, yaitu agar ummat Islam kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat ummat Islam terbelakang dan tertinggal dari ummat-ummat lain. Selain itu, ia menemukan Islam dalam Muham­madiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muham­madiyah menyembelih qurban usai menunaikan shalat Iedul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir miskin.
Pada tahun 1923, Sutan Mansur menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.
Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkem­bangan pesat.
Pada tahun 1927 bersama Fakhruddin, Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan Cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai. Dengan demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.
Selain di Muhammadiyah, Sutan Mansur sebagaimana juga K.H. Ahmad Dahlan— pada dasawarsa 1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin organisasi bagi anggota yang merangkap di Muhammadiyah.
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muham­madiyah. Karena itu, pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah Minangkabau (Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944. Bahkan, sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muham­madiyah menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumater
 Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini, dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang bertugas menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar. Kelak, muballigh-muballigh ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda Persyarikatan Muham­madiyah. Sutan Mansur, oleh Konsul-konsul daerah lain di Sumatera, dijuluki sebagai Imam Muhammadiyah Sumatera.
     Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938, Sutan Mansur menjadi penasehat agama bagi Bung Karno. Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi salah seorang anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat. Setelah itu, sejak tahun 1947 sampai 1949 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukittinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.
Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1950, ia diminta menjadi Penasehat TNI Angkatan Darat dan harus berkantor di Markas Besar Angkatan Darat. Namun, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera untuk bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Soekarno memintanya lagi menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukittinggi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya. Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.
     Dalam konggres Masyumi tahun 1952, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkan oleh presiden Soekarno. Tahun 1958 ketika pecah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Padang, ia berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno, meskipun peran yang dimainkannya dalam pergolakan itu diakuinya sendiri tidak terlalu besar.
     AR Sutan Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua kali periode kongres. Kongres Muhammadiyah ke-32 di Banyumas, Purwokerto tahun 1953 mengukuh­kannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode 1953-1956. Karena itu, ia harus pindah ke Yogyakarta. Pada Kongres Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi Ketua PB Muhammadiyah periode 1956-1959.
Pada masa kepemimpinannya, upaya pemu­lihan ruh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasya­rakatkan dua hal, pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam ruh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid; kedua, mengusahakan buq’ah mubarokah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji al-Qur’an, mengaji al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunnah hari Senin dan Kamis, juga pada tanggal 13, 14 dan 15 tiap bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan taqwa. Selain itu, juga diupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara Majelis dengan Cabang atau Ranting banyak diselenggarakan.
     Saat beliau memimpin, Muhammadiyah berhasil merumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1956-1959 atau yang populer sebagai Khittah Palembang, yaitu:
(1) Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadlu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muham-madiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab.
(2) Melaksanakan uswatun hasanah.
(3) Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi.
(4) Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak.
(5) Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
(6) Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk menganti­sipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan.
(7) Menuntun penghidupan anggota.
Meskipun setelah 1959 tidak lagi menja­bat sebagai ketua, Buya AR Sutan Mansur yang sudah mulai uzur tetap menjadi Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke periode. Ia, meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat, konferensi, Tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah tetap menjadi guru pengajian keluarga Muhammadiyah.
Buya Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya, antara lain berjudul Jihad, Seruan kepada Kehidupan Baru, Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim, dan Ruh Islam, nampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islam ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan Al-Qur’an dan hadis.
     Buya H. Ahmad Rasyid Sutan Mansur meninggal pada hari Senin 25 Maret 1985 bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang ulama, da’i, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap Ahad pagi senantiasa memberikan pelajaran agama terutama tentang Tauhid di ruang pertemuan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Jenazah almarhum Buya dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan setelah dishalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah.
     Buya Hamka menyebutnya sebagai seorang ideolog Muhammadiyah. Dan, M. Yunus Anis dalam salah satu Kongres Muhammadiyah mengatakan, bahwa di Muhammadiyah ada dua bintang. Bintang timur adalah K.H. Mas Mansur dari Surabaya, Ketua PP Muhammadiyah 1937-1943 dan bintang barat adalah Buya AR. Sutan Mansur dari Minangkabau, Ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.

Ki Bagus Hadikusuma

Ki Bagus Hadikusuma

(Ketua 1944 - 1953)

Pahlawan perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ini dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi’ul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman. Setelah tamat dari ‘Sekolah Ongko Loro’ (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini ia banyak mengkaji kitab-kitab fiqh dan tasawuf.
Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Haji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang di antaranya ialah Djarnawi Hadikusumo, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari Yogyakarta bernama Mursilah. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri keduanya meninggal. Dari istri ketiga ini ia memperoleh lima anak.
Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di pesantren. Namun, berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua anggota PPKI.
Secara formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muham­madiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercer­min komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam.
   Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan Ordonansi 1931. Kekecewaannya itu ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan Sidang BPUKPKI.
   Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergo­lakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muham­madiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang, Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam, untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari.
   Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.