(Ketua 1968 - 1971)
Kyai Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2
Maret 1904. Ia berasal dari keluarga santri sederhana
dan taat beribadah. Faqih Usman merupakan anak keempat dalam keluarga
yanga gemar akan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun
pengetahuan umum.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu
pengetahuan umum dari ayahnya sendiri. Menginjak usia remaja ia belajar
di pondok pesantren di Gresik tahun 1914-1918. Kemudian, antara tahun
1918-1924 dia menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren di luar
daerah Gresik. Dengan demikian, ia juga banyak menguasai buku-buku yang
diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, karena penguasaannya
dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar dan majalah
berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan
kemerdekaan. Apalagi, pada penghujung abad 19 dan awal abad 20 itu di
dunia Islam pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.
Faqih Usman dikenal memiliki etos enterpreneurship yang kuat.
Kegiatan bisnis yang dilakukannya cukup besar dengan mendirikan beberapa
perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan,
galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat
sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.
Keterlibatannya dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika
ia diangkat sebagai Ketua Group Muhammadiyah Gresik, yang dalam
perkembangan selanjutnya menjadi salah satu Cabang Muhammadiyah di
Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya, karena kepiawaiannya sebagai
ulama-cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah
Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas
Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia
menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur
pada tahun 1936. Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat
dan duduk dalam susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan
seterusnya selalu terpilih sebagai salah seorang staf Ketua Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Menjelang meninggalnya, beliau dikukuhkan sebagai
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37
tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun, jabatan itu
sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil
menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya
kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin yang
masih sangat muda.
Faqih Usman banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang
sangat membantu pengembangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah
Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah Jawa Timur. Kegiatannya
dalam Muhammadiyah memperluas jaringan pergaulannya, sehingga iapun
terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat, seperti Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937.
Pada tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada
tahun 1945 dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan
Ketua Komite Nasional Surabaya. Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah
Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef
Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini memiliki ikatan yang erat
dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil dalam Partai Masyumi sejak
didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di
Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan
pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun 1960, yaitu
pada saat Masyumi dibubarkan.
Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka
yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika
rezim itu tumbang digantikan oleh rezim Orde Baru, maka Faqih Usman
bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia)
dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)
mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini
kemudian dikenal dengan Nota K.H. Faqih Usman, yang isinya permintaan
agar Pemerintah RI Orde Baru mau merehabilitasi Masyumi dari partai
terlarang.
Faqih Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini.
Dia pernah dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada
masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6
September 1950. Pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama
Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat itu
menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya kembali
sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April l952 sampai
1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama
yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan
Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi
kubu NU menuntut agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada unsur NU.
Namun, setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih Usman
(representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik
Islam di tanah air, karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan
Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk
sebagai anggota aktif Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai
tinggi yang diperbantukan pada Departeman Agama sejak tahun l954.
Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam
resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang
meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
di Sumatera Utara. Bersama dengan Mohammad Roem, dia berusaha menjadi
mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat
saat itu. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat
dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin
Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang
semakin menajam menjadi perang saudara tersebut. Upaya ini tidak membawa
hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Dalam keputusasaan
tersebut, akhirnya Fakih Usman kembali ke Muhammadiyah yang menjadi
basis aktivitas kemasyarakatannya.
Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada kepengurusan KHA. Badawi yang pertama (1962-1965), KH Fakih Usman
merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenal dengan
Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam
Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, yang akhirnya
diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.
No comments:
Post a Comment