(Ketua 1995 -1998)
Meskipun tak semua nama otomatis mewakili kepribadian seseorang,
namun membaca nama Tokoh Sentral Reformasi Indonesia 1998 satu ini sudah
cukup sebagai referensi awal untuk melihat sosoknya yang besar. Prof.
Dr. Muhammad. Amien Rais, MA. yang lebih populer dikenal Amien Rais
adalah sosok pemimpin terpercaya di republik ini. Lahir pada 26 April
1944 di Surakarta. Orang tuanya berharap putra kedua dari enam
bersaudara ini menjadi kyai dan melanjutkan pendidikan agama ke Mesir,
sehingga pendidikan yang ditanamkan Syuhud Rais dan Sudalmiyah, ayah dan
ibunya, sejak dini sudah mencerminkan nilai-nilai agama yang sangat
menekankan tumbuhnya kepribadian disiplin, taat beribadah, banyak
membaca dan berbudi pekerti. Dari lingkungan sekitarnya, Amien Rais juga
banyak belajar tentang realitas masyarakat dimana dirinya sangat dekat
dengan kondisi keluarga miskin, kampung sederhana, dan bahkan memahami
betul bentuk ruang tidur dan dapurnya yang alakadarnya.
. Amien Rais menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar
Muhammadiyah I Surakarta, sampai pendidikan SMP dan SMU juga selesai di
sekolah Muhammadiyah. Pendidikan tingkat sarjana Amien Rais selesaikan
di Jurusan Hubungan Internasional fakultas FISIPOL Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1968, bahkan tahun berikutnya juga menerima gelar
Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di
masa-masa mahasiswa inilah Amien Rais terlibat aktif dan berperan di
berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (Ketua Dewan Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa
Islam (Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta). Studinya
dilanjutkan pada tingkat Master bidang Ilmu Politik di University of
Notre Dame, Indiana, dan selesai tahun 1974. Dari universitas yang sama
juga memperoleh Certificate on East-European Studies. Sedangkan
gelar Doktoralnya diperoleh dari University of Chicago, Amerika Serikat
(1981) dengan mengambil spesialisasi di bidang politik Timur Tengah dan
selesai tahun 1984. Disertasinya yang cukup terkenal, berjudul: The Moslem Brotherhood in Egypt: its Rise, Demise, and resurgence (Organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan dan Kebangkitannya kembali). Program Post-Doctoral Program di George Washington University pada tahun 1986 dan di UCLA pada tahun 1988 pernah pula diikutinya.
Saat mengenang Zainal Zakze Award yang di raihnya tahun1967,
sebuah penghargaan jurnalisme bagi penulis mahasiswa krits, Amien Rais
hanya berkomentar pendek ”Sejak itu, saya tidak pernah tidak kritis.”
Sebagai ilmuwan dan akademisi sekaligus Guru Besar Ilmu Politik di
Universitas Gadjah Mada, Amien Rais mengajar mata kuliah Teori Politik
Internasional, Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah, Teori-teori
Sosialisme, hingga memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik
di Program Pascasarjana Ilmu Politik. Selain itu, Amien Rais mengelola
Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), lembaga yang konsen
dalam kegiatan pengkajian dan penelitian sebagai bentuk keprihatinan
atas terbatasnya produk kebijakan menyangkut masalah-masalah strategis
yang berorientasi pada penguatan pilar-pilar kehidupan masyarakat.
Perjalanan pendidikan Amien Rais memberinya tak sedikit pengalaman dan
kemampuan kognitif-analitis, dimana kemampuan itu mengantarnya menjadi
salah seorang intelektual terkemuka di negeri sendiri dan di berbagai
negeri mancanegara. Sepanjang rentang aktivitas sekembalinya ke Tanah
Air setelah sekian lama malang-melintang menimba ilmu di negeri Paman Sam,
tugas-tugas intelektualisme yang kemudian Amien Rais geluti --baik
berupa transformasi keilmuan dengan mengajar di berbagai universitas
maupun dengan melakukan kritik atas fenomena sosial yang sedang
berlangsung-- meneguhkan sosoknya yang memiliki daya kepemimpinan di
atas rata-rata dan dapat dipercaya. Kritiknya yang sangat vokal bahkan
mewarnai opini publik di Indonesia. Dan sebagai pakar politik Timur
Tengah, Amien Rais juga seringkali melontarkan kritik yang sangat tajam
terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempatnya
sendiri belajar tentang demokrasi dan hak asasi manusia.
Konsistensi Amien Rais dalam menolak sikap lembek bangsanya
terhadap intervensi asing dan budaya koorporatokrasi yang menjagal
hak-hak dasar hajat hidup bangsa Indonesia sendiri terekam jelas dalam
buah pikirnya pada buku: Selamatkan Indoenesia; Agenda Mendesak Bangsa. Dalam komentarnya tentang buku itu, Amin Rais tak segan-segan mengakuinya sebagai Angry Book (buku yang marah). “Saya mencoba menggugah anak anak-anak bangsa yang sudah dibrainwashing sejak jaman londo dahulu,
dan sekarang masih melekat sebagai mental inlander. Tanpa melepaskan
mental inlander (mental budak), kita tidak bisa bangkit. Sayangnya,
pemimpin kita tidak mengikuti Sultan Agung Mataram tapi malah mengikuti
Amangkurat I dan II yang menjual Pelabuhan Cirebon (pada bangsa asing)
dan memanggil eyang pada Gubernur Jendral Belanda”. Tukasnya tanpa tedeng aling-aling dalan sebuah kesempatan diskusi Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah (2008).
Jauh masa sebelum Amien Rais melontarkan hal itu, perannnya sebagai
cerdik cendekia terkemuka telah menempatkannya di posisi Ketua Dewan
Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang lahir dan besar
dari rahim Orde Baru. Namun, kondisi politik dan perekonomian yang sudah
terlanjur membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi
mendorongnya mengambil langkah berani yang tidak populer dan bersuara
lantang tentang silang sengkarut praktik KKN (korupsi, kolusi,
Nepotisme) di tubuh birokarasi serta eksploitasi serakah kekayaan negeri
yang sangat merugikan negara di sejumlah perusahaan besar asing seperti
Busang dan Freeport . Seperti resiko yang diduga banyak orang, Amien
Rais kemudian terpental dari posisinya di ICMI.
Namun kehadirannya di Muhammadiyah dan lompatan-lompatan gagasannya
justru dianggap sejalan dengan watak gerakan pembaharuan yang kritis
dan korektif, hal itu kemudian menuai dukungan penuh. Maka tahun 1993,
dihadapan peserta Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung di Surabaya Amien
Rais kembali menggulirkan issu besar, yakni perlunya suksesi
kepresidenan. Sebuah langkah janggal pada saat itu sebab gurita
kepemimpinan Orde Baru masih sangat mencengkeram. Keberaniannya
mengambil resiko yang tak jarang bahkan mengancam jiwanya, diakui suami
Kusnariyati Sri Rahayu ini sebagai sikap amal ma’ruf nahi mungkar
yang sesungguhnya amanat dan sekaligus ruh gerakan dakwah Muhammadiyah.
Aminen Rais juga merasa bahagia menerjang segala resiko perjuangannya
karena mendapat support penuh dari istri dan kelima putra-putrinya: Ahmad Hanafi, Hanum Salsabilla, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan Ahmad
”Saya dulu dididik ibu untuk amar ma’ruf. Menurut beliau, melaksanakan amar ma’ruf tidak ada resikonya. Orang yang tidak setuju pun tidak marah. Tapi, melaksanakan nahi mungkar banyak resikonya,” gugahnya nan bersahaja.
Proses ragi politik yang terus membusuk dan melemahkan sendi-sendi
ekonomi bangsa pada dasawarsa kedua tahun 1990-an, mendorong Amien Rais
kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan dengan desakan
lebih luas: Reformasi Total. Berawal dari kasus Freeport dan Busang,
Amien Rais sengaja meggerbah kelesuan perubahan sosial yang mendasar di
negeri ini. Bahkan, gagasan dan gerakannya berada di garda paling depan
dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru. Sejak awal bergulirnya
reformasi, Amien Rais sudah menyatakan ”siap” mencalonkan diri sebagai
presiden. Ini sebuah pernyataan yang dinilai sangat berani pada saat itu
meskipun diakuinya sendiri hanya sebatas political education. Namun wacana pencalonan dirinya sebagai presiden, bukanlah semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa melainkan cermin sikap high politic-nya
yang konsekwen mendorong upaya pengentasan penderitaan rakyat akibat
distorsi kepemimpinan nasional yang otoriter dan korup. Amien Rais
melihat keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki mulai dari tampuk
kekuasaan.
Keterlibatan Amien Rais di Pimpinan Pusat Muhammadiyah dimulai
sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua
Majelis Tabligh. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 (1990) di Yogyakarta,
Amien Rais terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Meninggalnya K.H. Ahmad Azhar Basyir selaku Ketua Umum Muhammadiyah pada
tahun 1994 kemudian mendaulat Sang Pemberani ini ke posisi
puncak itu. Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Banda Aceh
akhirnya secara aklamasi meminta kesediannya melanjutkan tampuk nakhoda
Muhammadiyah.
Dapat dikata, aktivitas bermuhammadiyah Amien Rais tidak pernah
terlepas dari pandangan keprihatinannya terhadap kehidupan politik
nasional yang menurutnya perlu direformasi untuk menghindari
keterpurukan bangsa yang semakin dalam. Setelah tumbangnya Rezim Orde
Baru dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden selama 32 tahun,
situasi politik berlangsung mencekam dan sangat meresahkan. Maka bersama
berbagai komponen tokoh bangsa lainnya Amien Rais mendirikan Majelis
Amanat Rakyat (MARA) untuk mencari solusi terbaik pasca reformasi. Tak
sedikit yang mengaggap sudah kepalang tanggung jika Amien Rais harus
berhenti hanya sampai disitu, atas desakan dari berbagai komponen bangsa
yang menginginkan perubahan paradigma politik Indonesia, Amien Rais
kemudian mendirikan partai politik yang diberi nama Partai Amanat
Nasional (PAN). Sebagai konsekuensi dari langkah politik itu, Amien
Rais harus melepaskan posisi puncak di Muhammadiyah.
”Muhammdiyah adalah rumah abadi saya,” tegasnya tak dapat mengelakkan rasa haru.
Kiprah Amien Rais selama mamainkan peran awal hingga sekarang di
pentas politik nasional cukup fenomenal. Partai Amanat Nasional yang
kemudian dinakhodainya sendiri berhasil cukup gemilang dalam mengikuti
pemilu pertamakali tahun 1999, dimana partai berlambang matahari itu
mampu meraup perolehan suara 7% dan menempatkan posisinya di peringkat
ke-5 dalam perolehan suara nasional seluruh partai kontestan. Posisi
tersebut, berhasil pula mengantarkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR RI). Dalam posisi paling atas lembaga
tertinggi negara itu, Amien Rais menjadi king maker regulasi
demokrasi nasional. Bahkan dengan kepiawaian dan kecerdasan politiknya,
Amien Rais menggulirkan gagasan Poros Tengah untuk membangun jalan baru
dari dua titik ekstrim dalam kubu politik yang cenderung berlaku zero some game
sebab tersandung kebekuan hubungan politik, sampai kemudian berhasil
mencalonkan, mengawal dan sekaligus mengantarkan Abdurrahman Wahid ke
tampuk kursi Presiden ke-4 RI. Dan ternyata, gagasan Poros Tengah itu
mampu memberi pengaruh pula bagi upaya merajut hubungan harmonis
Muhammadiyah-NU yang sebelumnya kerap bersebrangan tegang dalam pilihan
instrumen dan gerak dakwahnya. Meskipun keharmonisan hubungan itu tak
lama disemai, sebab proses politik setelahnya berlangsung di luar duga,
dimana presiden ke-4 RI yang tak lain tokoh sentral NU itu akhirnya
dilengserkan secara konstitusional oleh MPR RI yang kebetulan masih
dikomandanu Amien Rais.
Meskipun Amin Rais sendiri belum berhasil meraih kursi presiden
ke-5 RI dalam kontestasi Pemilu Presiden yang diselenggarakan
pertamakali secara langsung (2004), namun prestasi politiknya tak
terpungkiri sejarah bangsa Indeonsia sebagai sosok bapak dan sekaligus
sokoguru politik bangsa yang mewakili lima nilai istimewa rapor
politikus era reformasi: Ikhlas, cerdas, tegas, jujur dan bersih. Kini,
menjelang usia lanjut dan tampak mulai memasuki masa sepuh, Amin Rais
masih segar sumringah berkiprah di Muhammadiyah.
No comments:
Post a Comment