(Ketua 1998 - 2005)
Buya Safii, demikian sapaan akrab Prof. DR. Ahmad Safii Maarif.
Tokoh pluralis yang tak sedikit menyumbangkan gagasan dan pemikiran
keislaman dalam naungan payung besar kemajemukan bangsa Indonesia ini
lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Masa kecil Buya
Syafii yang sangat dekat dengan tradisi Islam telah menjadi magnet awal
yang senantiasa mengajaknya bergumul dengan pengetahuan keislaman serta
berusaha memahaminya sedalam mungkin. Geliat hidup demikian itu, dapat
dikata pula berkat bimbingan dari almarhumah ibunya, Makrifah. Ketajaman
minat Buya Safii mendalami Islam kian terasah dan makin tajam oleh
pendidikan yang dijalaninya kemudian, dan pada akhirnya membentuk
dirinya hidup secara kental dalam kultur Islam.
Setamat Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di kampung kelahirannya, Buya
Safii menginjakkan kaki di lantai sekolah Madrasah Mu’allimin Lintau,
Sumatera Barat. Sampai kemudian menyebrangkan kakinya jauh melintasi
lautan untuk melanjutkan sekolah ke Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di
Yogyakarta, dan tamat tahun 1956. Berbekal ilmu agama di Mu’allimin itu,
Buya Safii pun menerima dengan lapang dada tugas pengabdian yang harus
diembannya ke Lombok Timur selama satu tahun sebagai guru di sekolah
Muhammadiyah.
Setelah menjalani masa pengabdian itu, Buya Safii melanjutkan
studinya kembali ke perguruan tinggi, meskipun ikhtiar menempuh
pendidikan tinggi baginya bukanlah hal yang mudah. Namun tekad dan
semangatnya menimba ilmu telah membuatnya mampu menerabas segala
rintangan. Bayangkan, dalam keadaan yatim piatu Buya Safii masih sanggup
merentang jerih usahanya dengan hanya ditopang saudaranya untuk bisa
duduk sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto
Surakarta. Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak, kenangnya mengilustrasikan perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara dengan Majalah Kuntum.
Baru satu tahun kuliah, pemberontakan PRRI/Permesta meletus dan
menyebabkan terputusnya jalur hubungan Sumatera-Jawa. Dengan demikian,
bantuan biaya kuliah dari saudaranya terputus, sehingga Buya Safii
memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Masa itu cukup getir, dimana
Buya Safii harus menyambung hidup sebagai guru desa di wilayah Kecamatan
Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Tak salah banyak orang memuji semangat keilmuannya, motivasi
belajar Buya Safii tak berhenti hanya oleh getah getir kesulitan hidup
yang membelintang di hadapannya. Sembari bekerja, suami siti hi hi...
dan ayah dari ketiga putra-putrinya: la, lu, li, (maaf belum menemukan
siapa nama istri dan anak-anaknya) Buya Safii kembali melanjutkan kuliah
di Jurusan Sejarah, karena tidak mungkin lagi kembali ke Fakultas
Hukum. Gelar Sarjana Muda berhasil diraihnya dari Universitas
Cokroaminoto pada tahun 1964, sedangkan gelar Sarjananya diperoleh dari
IKIP Yogyakarta empat tahun kemudian. Kepakarannya di bidang sejarah
semakin teruji setelah memperoleh gelar Master dari Ohio State
Universitas, Amerika Serikat.
Pilihan yang tak sengaja itu ternyata telah menuntun saya menemukan hikmah kemanusiaan, komentarnya ringan dalam sebuah wawancara dengan KOMPAS.
Gelar Doktoralnya diperoleh pada tahun 1993 dari Universitas
Chicago dalam Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat dengan
disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic
Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in
Indonesia. Anak bungsu di antara empat bersaudara ini, terlibat
secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran dengan bimbingan
seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazrul Rahman. Di sana pula,
Buya Safii kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan
Amien Rais yang sedang menjalani pendidikan doktor.
Buya Safii mengakui bahwa ilmu dan pengetahuan sejarah telah
demikian memikat minatnya karena sejarah berbicara tentang simpul-simpul
kemanusiaan secara totalitas. Tak heran jika dalam sebuah ungkapannya
terlukis kesan itu: Sudah 25 tahun terakhir, perhatian terhadap
sejarah, filsafat dan agama melebihi perhatian saya terhadap cabang ilmu
yang lain. Namun saya sadar sepenuhnya, bahwa semakin saya memasuki
ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya. Tidak jarang saya merasa
sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan tanpa
batas.
Dari proses itu pula, rasa humanisnya tumbuh dan memperdalam
perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Kehidupan relegius yang
kuat berurat akar dalam sanubarinya kemudian memercik indah dalam tafsir
dan ajakan membumikan islam dalam kembangan Hablumminnas yang
sejati: saling mencintai dan mengasihi sesama manusia di muka bumi. Dan
menyerukan agar Islam tak dipeluk dalam keyakinan sebatas ritual, namun
juga harus mampu mengembangkan praktik dan perilaku hidup keislaman
dengan memeluk utuh Islam sesuai seruan hakikinya: rahmatan lil’alamin.
”Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya
lautan jelajah yang hendak dilayari.” Kalimat bersahaja itu terlontar
pada mukaddimah pidato Pengukuhan Guru Besar-nya di IKIP Yogyakarta.
“Rendah hati adalah refleksi dari iman,” sambungnya.
Maka tak berelebihan, jika begitu banyak orang yang terpukau dan
takzin pada sosok Buya Safii sebagai ilmuwan yang selalu menempatkan
kekuatan religi dalam setiap pergulatan dengan ilmunya. Ia sejarawan dan
ahli filsafat, tetapi di tengah masyarakat lehadirannya selaku anak
bangsa lebih dikenal sebagai seorang agamawan. Tidaklah kamu diberi ilmu, kecuali sedikit saja, pungkasnya
mengutip sebuah ayat suci Al-Quran. Ini adalah nasehat untuk meredam
ambisi dan rasa ingin tahu manusia untuk tidak melangkahi kawasan luar
batas kemampuannya sendiri. Dalam pengertian itulah, maka timbul semakin
kuat keyakinanya bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda
keberadaan Tuhan. Kita harus percaya pada realitas yang ada di luar jangkauan manusia, demikian
tekannya. Alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa menjelaskan
dirinya, diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian dan
keberadaannya. Hanya wahyu yang kemudian menolong otak manusia dan
persepsinya guna memahami semua fenomena itu. Hanya lewat agama, manusia
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan eksistensi manusia
dan tentang makna kematian. Filsafat, apalagi sejarah, tidak mampu
melakukannya.
Membaca buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Buya Safii,
selain menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua PP Muhammadiyah, anggota
Dewan Pertimbangan Agung dan staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak
heran kalau Buya Safii juga fasih menyitir ungkapan yang berharga dari
kalangan ilmuwan, dan juga kaya dengan ungkapan-ungkapan puitis yang
bermakna cukup mendalam.
Bahkan keterlibatan Buya Safii sebagai Ketua Umum Muhammadiyah
merupakan sebuah keharusan sejarah itu sendiri. Tatkala desakan
reformasi sedang bergulir di Indonesia, dan Amien Rais sebagai salah
satu lokomotif pendesak yang saat itu menakhodai Muhammadiyah harus
melibatkan diri dalam aktivitas politik untuk mengawal gerak roda
reformasi secara praktis, maka sebagai nakhoda pengganti Buya Safii
sadar bahwa pada saat itu pula Muhammadiyah seumpama bahtera induk yang
harus tetap diarahkan ke haluan utamanya agar tak terseret-seret oleh
tarikan arus pergumulan politik praktis dan kepentingan jangka pendek.
”Janganlah kita berlama-lama berada dalam iklim ketidakpastian masa
depan, sebab itu berarti kita membiarkan bangsa ini berkubang dalam
proses pembusukan sejarah. Sungguh memalukan dan melelahkan!”
Setelah kembali terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam
Muktamar ke-44 (2000) yang berlangsung di Jakarta, Buya Safii kemudian
mengemudikan perannya dalam mendinamisasi Muhammadiyah agar dapat secara
optimal menggerakkan usaha-usaha tajdid dan cita-cita pencerahan yang
hendak diraihnya. Jangan sampai gerakan pembaharuan sebagai dasar
filosofis Muhammadiyah tergerus dan hanya menjadi slogan kosong dalam
aktualisasi gerakannya. Salah satu usahanya adalah mendorong laju
kebangkitan intelektual di kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah, sebab
sangat menyadari bahwa keilmuan dan keislaman adalah semangat inti
segala gerak Muhammadiyah. Dimana kepemilikan ilmu dan daya
intelektualitas adalah pintu gerbang kemampuan memahami dan mengamalkan
Islam secara kaffah, dan AMM sebagai pelaku sejarah gerakan Muhammadiyah
masa depan menjadi juru kunci cerah dan buramnya wajah Muhammadiyah
dalam pergulatan dunia.
Dalam sebuah catatan pendeknya, Buya Safii mempertegas suara
hidupnya sebagai bapak bangsa: Aku mencintai bangsa ini secara tulus dan
dalam sekali. Bagiku, membela bangsa adalah dalam rangka membela
Islam.
Usaha dan perjuangan Buya Safii tak berhenti tatkala meletakkan
kepemimpinan Muhyammadiyah pada gernerasi di bawahnya. Buya kemudian
mendirikan Maarif Institud sebagai wahana melanjutkan ikhtiar dalam
rangka mengawal dan menggapai kebangkitan intelektual di kalangan
generasi muida Islam. Kini, di bawah layar Maarif Institud, Buya Safii
pun kian menancapkokohkan jejaknya sebagai tokoh pluralis yang konsisten
memperjuangkan nilai-nilai kemajukan dakam bingkai keislamam,
keindonesiaan dan kemanusiaan.
Mantap pak.
ReplyDeleteTeknokita.id